Di sela kesibukannya merawat anak yang sedang dalam masa pemulihan, Sukma justru menemukan peluang emas tersembunyi di lahan kosong sekitar rumahnya. Petani asal Kulonprogo, Yogyakarta ini tidak sembarangan memilih komoditas. Pilihannya jatuh pada Cabai Jawa dengan pertimbangan matang. "Cabai ini ibarat investasi jangka panjang. Cukup tanam sekali, kita bisa memanen berulang kali dengan harga yang stabil, bahkan mencapai Rp97.000 per kilogram dalam kondisi kering," tutur Sukma dengan mata berbinar. Perjalanan ini dimulai secara sederhana dengan menjual hasil panen ke Pasar Beringharjo seharga Rp50.000-Rp65.000 per kg. Keberuntungan berpihak ketika ia berhasil menjalin kemitraan dengan koperasi (KUD) yang menawarkan harga lebih baik, Rp80.000 per kg. Koneksi ini kemudian membawanya bertemu dengan eksportir yang memberikan nilai tambah lebih tinggi. "Yang membuat saya semakin yakin, harga cabai Jawa tidak pernah mengalami kemerosotan signifikan. Pada titik terendah pun masih di angka Rp40.000 per kg, dan itu tetap memberikan keuntungan," tegasnya. Meskipun menyandang nama 'cabai', tanaman dengan nama ilmiah Piper retrofractum ini sebenarnya lebih dekat kekerabatannya dengan lada daripada cabai rawit. Cita rasanya yang khas, memberikan sensasi hangat hingga ke tenggorokan, menjadikannya primadona dalam dunia pengobatan tradisional dan industri jamu. "Banyak yang belum menyadari bahwa cabai Jawa mengandung piperine yang memiliki kemampuan menghangatkan tubuh dan meningkatkan metabolisme," papar Sukma berbagi pengetahuan. Proses budidaya dimulai dengan persiapan lahan dan pemasangan ajir (penyangga) dua bulan sebelum masa tanam. Melalui berbagai eksperimen, Sukma menemukan bahwa randu dan jati putih merupakan pilihan terbaik karena ketahanannya, sementara kelor dan dadap cenderung cepat membusuk. "Penyangga setinggi 2 meter ini menjadi penentu kesuksesan karena cabai Jawa merupakan tanaman merambat yang membutuhkan akses maksimal ke sinar matahari, dengan sebagian besar buah terkonsentrasi di bagian atas" jelasnya. Setelah penyangga siap, tahap penanaman dilaksanakan dengan membuat lubang berukuran 20x20x10 cm yang diperkaya pupuk organik. Empat bulan pertama merupakan periode yang membutuhkan perhatian ekstra, dengan penyiraman dua kali sehari dan pemupukan organik (menggunakan pupuk kandang kambing) dua kali sebulan melalui sistem pengairan cair. "Setelah melewati fase ini, intensitas penyiraman bisa dikurangi menjadi dua kali seminggu," tambah Sukma. Pemangkasan penyangga secara berkala mutlak dilakukan untuk memastikan 85% tanaman mendapat akses sinar matahari langsung. Dalam hal pemupukan, setelah satu tahun masa tanam, Sukma memberikan tambahan NPK dan KCl untuk mendukung pembuahan optimal. "Memang dibutuhkan kesabaran karena cabai Jawa baru mulai berbuah setelah satu tahun, namun setelah itu kita bisa menikmati hasil panen terus-menerus," imbuhnya. Pengendalian hama dilakukan dengan pendekatan terpadu. Insektisida digunakan untuk mengatasi pengeritingan daun di musim kemarau, sementara arang dan Trichoderma efektif menangani penyakit layu di musim hujan. Kunci kesuksesan dalam budidaya cabai Jawa terletak pada proses pascapanen yang tepat. Sukma membagikan dua teknik pengolahan andalannya yaitu pengeringan langsung di bawah terik matahari atau perebusan sebelum diangin-anginkan dan dijemur. "Proses perebusan sangat krusial untuk membunuh jamur dan memperpanjang masa simpan, dengan pengolahan yang benar, cabai Jawa bisa disimpan bertahun-tahun layaknya emas yang tidak lekang oleh waktu," ungkapnya. Meski tergolong komoditas langka, Sukma menyimpan optimisme tinggi terhadap kebangkitan budidaya cabai Jawa. "Banyak pemburu cabai Jawa yang aktif mencari supplier. Ini merupakan peluang emas bagi petani sekaligus kesempatan untuk memberdayakan masyarakat lokal," pungkasnya penuh keyakinan. Dengan ketekunan dan perawatan yang tepat, cabai Jawa telah membuktikan diri sebagai sumber penghasilan berkelanjutan yang menjanjikan

Indonesia merupakan salah satu produsen kopi terbesar di dunia, dengan ekspor mencapai ratusan ribu ton setiap tahunnya. Di antara beragam varietas yang tumbuh di nusantara, kopi Arabika dari lereng Gunung Ijen unggul sebagai specialty coffee dengan cita rasa khas dan kualitas unggul. Keistimewaan ini tercermin dalam video YouTube Capcapung berjudul “Bangga! Kopi Arabika dari Ijen Jadi Primadona Pasar Ekspor”, yang menampilkan wawancara dengan Manajer Java Coffee Estate dan peneliti dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka). Java Coffee Estate merupakan bagian dari PT Perkebunan Nusantara (PTPN) Group. Nama “Java” sendiri telah lama identik dengan kopi di dunia Barat sejak abad ke-19, mencerminkan reputasi kopi Jawa yang mendunia. Hingga kini, perkebunan kopi PTPN di kawasan Ijen masih menjadi salah satu yang tertua dan paling produktif di Indonesia, dikenal luas melalui merek Java Coffee. Menurut Kepala Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, keberhasilan budidaya kopi sangat ditentukan oleh penggunaan bahan tanam unggul. Di kawasan Ijen, varietas yang digunakan antara lain Andongsari 2, Komasti, dan Usda. Tiga jenis yang dikenal memiliki cita rasa khas, daya adaptasi tinggi, serta ketahanan terhadap penyakit karat daun. Di kebun Java Coffee Estate, kopi Arabika Andongsari 2 ditanam di ketinggian sekitar 1.100 meter di atas permukaan laut dengan populasi lebih dari 2.000 pohon per hektar. Sistem olah tanah gandung diterapkan agar air hujan terserap maksimal, sementara pengendalian hama dilakukan secara rutin untuk menjaga kualitas tanaman. Pohon penaung lamtoro turut ditanam untuk menjaga kelembapan dan melindungi tanaman dari cuaca ekstrem, menjadikan kebun ini bagian dari praktik agroforestri yang berkelanjutan. Selain fokus pada produksi, Java Coffee Estate juga menerapkan tanggung jawab sosial perusahaan. Mereka menyediakan 380 kandang komunal yang menampung lebih dari 4.000 ternak. Kegiatan ini tidak hanya meningkatkan ekonomi masyarakat, tetapi juga menghasilkan pupuk organik bagi kebun kopi. Sekitar 3.000 pekerja lokal terlibat dalam proses perkebunan, dan menariknya lebih dari 60 persen diantaranya adalah perempuan yang menunjukkan komitmen terhadap pemberdayaan dan kesetaraan gender. Usai panen, kopi ceri diolah dengan metode wetprocess yang meliputi pengupasan kulit menggunakan vispulper, fermentasi selama 36 jam, dan pengeringan alami selama 19–21 hari hingga kadar air di bawah 12 persen. Proses ini dilakukan dengan cermat di bawah sinar matahari dan udara bersih Ijen untuk menjaga cita rasa kopi. Setelah kering, biji kopi disortir melalui tahapan grading dan sizing. Tidak lupa untuk uji cita rasa memastikan keseimbangan aroma, keasaman, dan aftertaste. Kini, Java Coffee Estate memiliki empat merek dagang internasional yaitu Jampit, Blawan, Pancoer, dan Kayumas yang diekspor terbanyak ke Amerika Serikat, Jerman, Belgia, dan Inggris. Di balik kesuksesan ekspor tersebut, tersimpan dedikasi terhadap alam yang diwujudkan lewat sertifikasi Rainforest Alliance yaitu pengakuan bahwa setiap biji kopi lahir dari praktik yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Bagi Java Coffee Estate di bawah naungan PTPN Group, kopi bukan sekadar hasil panen atau komoditas ekonomi melainkan warisan rasa dan pengetahuan, sebuah simfoni antara manusia dan alam. Melalui kolaborasi dengan Puslitkoka Jember dan keterlibatan aktif masyarakat sekitar, semangat menjaga bumi dan budaya tetap diseduh bersama setiap cangkirnya.

Di tengah derasnya arus informasi dan gaya hidup serba instan, kemampuan untuk memahami hal mendasar justru menjadi keterampilan yang sering terabaikan. Kita semakin terampil menjelajahi ruang digital yang terus berkembang tapi seringkali kehilangan koneksi dengan hal paling penting seperti dari mana makanan kita berasal, bagaimana makanan tersebut diproduksi, dan apa dampaknya bagi kehidupan kita. Di sinilah literasi pertanian mengambil peran, bukan sekadar kemampuan mengenal tanaman, melainkan cara berpikir dengan menyatukan pengetahuan, kesadaran, dan tindakan terhadap sistem pangan yang menopang hidup manusia. Literasi pertanian menjadi keterampilan yang tidak terlihat, tetapi mengakar dalam setiap keputusan konsumsi yang kita buat setiap hari. Secara sederhana, literasi pertanian adalah kemampuan mencari, memahami, menilai, dan menggunakan informasi pertanian secara tepat. Tapi, lebih dari itu, ia mengajarkan cara membaca realitas pangan secara kritis, mengaitkan pengetahuan dengan kesadaran sosial serta memahami pengaruh kebijakan, teknologi, dan perilaku konsumsi. Literasi ini tidak hanya milik petani atau pelaku agribisnis, tetapi juga penting bagi siapa pun yang ingin hidup cerdas dan mandiri. Dengan memahami sistem pertanian, seseorang dapat melihat hubungan antara harga pangan, perubahan musim, dan isu keberlanjutan lingkungan, sehingga mampu mengambil keputusan berdasarkan pemahaman, bukan sekadar kebiasaan. Esensi literasi pertanian juga terletak pada kemampuan membangun kemandirian ekonomi mikro. Dalam situasi harga pangan yang fluktuatif dan pasokan yang tidak selalu stabil, orang yang memiliki literasi pertanian akan lebih siap menghadapi tekanan ekonomi. Ia tahu kapan waktu terbaik membeli, bagaimana menanam bahan dapur sederhana, atau bahkan bagaimana mengolah sisa makanan menjadi kompos. Pengetahuan ini mungkin terlihat sepele, tapi sebenarnya berfungsi sebagai “mekanisme pertahanan” di level rumah tangga. Dari fenomena tersebut, kita dapat memaknai bahwa literasi pertanian adalah strategi ekonomi personal atau cara halus tapi efektif untuk menjaga kestabilan pengeluaran dan memastikan kualitas hidup tetap terjaga meski dunia luar terus berubah. Dengan demikian, literasi pertanian bukan sekadar kemampuan bertahan hidup, tetapi cara hidup yang lebih sadar dan berkeadilan. Ia mengajak kita memahami bahwa pangan bukan hanya tentang “apa yang kita makan,” tetapi juga “siapa yang memproduksinya” dan “bagaimana bumi menopangnya.” Saat kesadaran ini tumbuh, pertanian tidak lagi dipandang sebagai urusan desa atau pekerjaan kelas bawah, melainkan pengetahuan dasar yang menghubungkan semua orang dalam ekosistem keberlanjutan yang sama. Kesadaran ini membutuhkan proses panjang. Dunia pertanian terus berubah seiring perkembangan teknologi, kebijakan pangan, dan munculnya tren baru seperti pertanian urban. Dalam dinamika itu, memahami informasi pertanian yang kredibel menjadi langkah kecil untuk menjaga ketajaman berpikir. Literasi pertanian kini bukan hanya soal menanam atau panen, tetapi juga memahami bagaimana kebijakan, distribusi hasil bumi, dan etika konsumsi saling berkaitan dalam sistem sosial yang lebih luas. Ketika kita memahami hal-hal tersebut, literasi pertanian berubah menjadi kesadaran hidup. Kesadaran untuk menghargai setiap butir beras, setiap tetes air, dan tenaga yang bekerja di balik makanan kita. Dengan kesadaran inilah hidup menjadi lebih cerdas, karena kita tahu dampak dari setiap pilihan kita. Inilah makna terdalam dari literasi pertanian sebagai hidden skill masa kini yang tidak menonjol di permukaan, tetapi diam-diam menumbuhkan empati, tanggung jawab, dan kebijaksanaan yang membuat manusia tetap berpijak di bumi, meski hidup di era digital.

Falasifah mulai jatuh cinta pada spirulina karena manfaatnya bagi pangan, pakan dan pupuk yang membantu mewujudkan mimpinya berkontribusi pada pertanian Indonesia. Siapa sangka, budidaya kecil dari kos kini berkembang menjadi industri alga terbesar yang memiliki banyak kegunaan bagi ketahanan pangan dan pakan. Dengan protein mencapai 70%, 1 gram spirulina platensis setara dengan 1 kg sayur, sehingga menjadi sumber protein alternatif yang sangat bermanfaat. Spirulina mengandung protein yang tinggi, kaya akan vitamin, mineral dan tinggi antioksidan sehingga sangat bermanfaat untuk menjaga kesehatan jantung, mengatasi diabetes, menignkatkan daya tahan tubuh dan membantu perawatan kulit. Produk yang dihasilkan terbagi menjadi tiga kategori: superfood dalam bentuk suplemen, bubuk, kopi, dan biskuit yang berperan sebagai solusi untuk mencegah stunting. Pemasaran produk alga dilakukan secara lokal melalui toko organik dan marketplace, sekaligus dipersiapkan untuk ekspor ke Afrika, Vietnam, dan Korea. Bagaiamana kisah selengkapnya videonya sudah tayang di yutub Capcapung ya pungs.